PLNWatch.id | Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk mengubah skema harga batu bara. Kementerian mewacanakan pengaturan harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price) dalam mengantisipasi adanya disparitas harga komoditas batu bara di pasar.
Sementara ini, penetapan harga batas atas sudah diimplementasikan untuk kelistrikan umum, industri semen dan pupuk.
Baca Juga:
5 Juragan Batu Bara RI, Juaranya Punya Harta Rp 378 T
"Kami mencoba melihat peluang-peluang pengaturan yang lebih baik dan memberikan keadilan bagi para pelaku usaha (pertambangan)," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin melalui keterangan tertulis di situs web resmi Kementerian ESDM, Selasa (16/11/2021).
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi potensi keengganan produsen batu bara berkontrak dengan konsumen batu bara dalam negeri saat harga komoditas tersebut naik.
"Saat harga naik, (produsen) lebih memilih denda bila harga batubara domestik jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional," jelas Ridwan.
Baca Juga:
Kenaikan Harga Batu Bara, PLN Was-was Kekurangan Pasokan
"Harga batas bawah juga bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah.
Kemudian, pengaturan skema kontrak penjualan dalam negeri melalui skema kontrak harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B).
"Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," jelasnya.
Pemerintah juga sedang mengusulkan pembangunan fasilitas pencampuran untuk komoditas batu bara (coal blending facility). Langkah tersebut bertujuan untuk memberikan keadilan dalam mengatasi permasalahan pelaksanaan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) batu bara bagi industri maupun perusahaan tambang.
Ridwan menerangkan bahwa perubahan tersebut sedang dalam tahap kajian internal di Kementerian ESDM.
"Kami sedang melakukan diskusi, pendalaman, dan wacana-wacana untuk lebih meningkatkan daya guna kebijakan DMO 25%," kata Ridwan.
Penetapan kebijakan DMO tersebut, dijelaskannya tidak mudah dilakukan oleh perusahaan karena tidak seluruh spesifikasi batu bara yang diproduksi oleh Badan Usaha (BU) Pertambangan memiliki pasar dalam negeri dan dapat diserap oleh pasar domestik.
"Kami mendorong PLN khususnya atau perusahaan pengguna yang lain untuk membangun fasilitas pencampuran batubara (coal blending facility) yang dikelola BUMN/Swasta untuk mengolah berbagai spesifikasi batubra agar sesuai dengan kebutuhan dalam negeri," jelasnya.
Usulan lainnya adalah dengan membuat skema pengenaan dana kompensasi bagi BU pertambangan yang tidak memenuhi kewajiban DMO.
"Dana kompensasi ini dapat juga digunakan untuk berbagai keperluan dalam mendukung tingkat kesesuaian produk batubara baik sebagai tambahan subsidi atau dukungan pendanaan untuk coal blending facilty," ungkapnya.
Ridwan menjelaskan konsumsi batu bara dalam negeri selama ini lebih kecil dibandingkan dengan tingkat produksi batu bara nasional. Selain itu, tidak semua BU pertambangan memiliki kesempatan kontrak penjualan dengan pengguna batu bara dalam negeri.
Lantas apa kata PLN?
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, DMO batu bara ditujukan untuk mengatur volume dan harga batu bara untuk industri di dalam negeri, sebagaimana diatur oleh pemerintah di dalam Peraturan Menteri ESDM.
Jika aturan DMO dilepas, maka menurutnya ini akan berdampak pada kepastian pasokan batu bara dalam negeri dan juga lonjakan biaya yang pada ujungnya bisa berdampak pada kenaikan subsidi atau tarif listrik masyarakat.
"Ini terkait energy security, kalau lepas DMO harus pikirkan apakah pasokan dalam negeri ini energinya akan secure? kalau gak pasti, listrik akan mati," paparnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin (15/11/2021).
Dampak kedua bila DMO ini dicabut yaitu adanya kenaikan harga batu bara yang akan berdampak langsung pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Kenaikan ongkos produksi ini menurutnya juga akan berdampak langsung pada subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah ke PLN.
"Jadi biaya di PLN disalurkan langsung pada dua hal, subsidi dan kompensasi, apakah dengan kenaikan ini kita siap untuk menaikkan subsidi dan naikkan kompensasi," tanyanya.
Dampak kedua bila DMO ini dicabut yaitu adanya kenaikan harga batu bara yang akan berdampak langsung pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. Kenaikan ongkos produksi ini menurutnya juga akan berdampak langsung pada subsidi dan kompensasi listrik dari pemerintah ke PLN.
"Jadi biaya di PLN disalurkan langsung pada dua hal, subsidi dan kompensasi, apakah dengan kenaikan ini kita siap untuk menaikkan subsidi dan naikkan kompensasi," tanyanya dikutip dari detikcom.
Dan kemudian, imbuhnya, jika tariff adjustment (tarif penyesuaian untuk golongan pelanggan non subsidi) semisal dilepas akibat dari kenaikan BPP, maka subsidi untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA akan naik. Kenaikan biaya PLN juga akan langsung berdampak pada kenaikan tarif listrik ke konsumen yang tidak disubsidi.
"Subsidi saat ini masih ditanggung negara dalam bentuk kompensasi, apakah kita mau naikkan tarif listrik masyarakat akibat lepas DMO?" ucapnya.
Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, konsumsi batu bara untuk domestik sekitar 130 juta ton. Setiap ada kenaikan US$ 1 saja, maka biaya akan naik US$ 130 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Saat ini harga batu bara di pasar dia sebut ada di sekitar US$ 180 per ton dan harga DMO batu bara untuk pembangkit listrik saat ini US$ 70 per ton.
"Ada US$ 100 perbedaan, kira-kira 130 juta dikali US$ 100 maka US$ 13 miliar, kalau high rank coals, ini kan low rank coal jadi perbedaan bukan US$ 100 tapi US$ 60-70 kali 130 sekitar US$ 8-9 billion, penambahan Rp 130 triliun per tahun," jelasnya.
Dia menjelaskan, dari penambahan Rp 130 triliun ini, seperempatnya ditanggung dalam subsidi sebesar Rp 40 triliun, sedangkan tiga per empatnya akan masuk ke kompensasi sekitar Rp 80 triliun. Jika tariff adjustment (tarif penyesuaian golongan non subsidi) dibuka, maka ini akan dibebankan ke pelanggan PLN.
"Pendapatan negara bukan pajak berapa? berapa dari pajak? perlu dihitung dan kira-kira Rp 130 triliun PNBP dan pajak mungkin 40% jadi ada pendapatan pajak dan bukan 40-50%, sisanya di absorb dari korporasi, ditanggung pemerintah Rp 40 triliun dan konsumen Rp 80 triliun," paparnya. [Tio]