"Kenapa kita belum mencapai kategori sangat tahan? Sebab dua aspek ini yaitu accessibility dan acceptability masih sangat kurang, meskipun pemerintah terus berupaya membangun infrastruktur gas, juga BBM melalui program BBM satu harga, kita membangun SPBU kecil di daerah 3T. Sedangkan untuk aspek acceptability ini terkait dengan lingkungan," kata Djoko.
Terkait aspek acceptability, Djoko menyampaikan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia pada 2020 baru 11,2%. Namun angka ini sudah cukup meningkat dibandingkan 2015 yang sebesar 4%.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
"Kita menuju 23% di 2025. Artinya kalau kita melakukan business as usual, mudah-mudahan ini bisa tercapai, dan di 2050 31%, kemudian di 2060 di mana kita punya target net zero emission, mudah-mudahan EBT sudah di atas 50%," harapnya.
Pengukuran ketahanan energi sendiri menggunakan aspek 4A (availability, affordability, accessibility, dan acceptability) dan metode pembobotan menggunakan AHP (analisa hierarchy process).
Aspek availability adalah ketersediaan sumber energi dan energi baik dari domestik maupun luar negeri.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Selanjutnya sspek affordability yaitu keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi.
Kemudian aspek accesibility adalah kemampuan untuk mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk tantangan geografik dan geopolitik.
Sedangkan aspek acceptability adalah penggunaan energi yang peduli lingkungan (darat, laut dan udara) termasuk penerimaan masyarakat.